
( وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ )
Tahadduts bin ni’mah merupakan
istilah yang sudah lazim dipakai untuk menggambarkan kebahagiaan
seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas anugerah itu ia perlu
menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada orang
lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam. Perintah untuk
menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat di atas, pertama
kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. Namun, perintah dalam
ayat ini tetap berlaku umum berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi
ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh
karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan
memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai
bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks
mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan
implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin mengemukakan
korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau,
memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara
umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan memuji
sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas pemberiannya.
Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan
menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi nikmat.
Berdasarkan makna ayat di atas, mayoritas ulama salaf menganjurkan agar
memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia mampu
menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan contoh oleh
orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah dapat
dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah riya’, ujub, dan
tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka sangat
dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh
seseorang.
Namun, jika dikhawatirkan akan menimbulkan rasa dengki, dan untuk
menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat orang lain,
maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur
nikmat. Lebih tegas Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa tahadduts bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga) maupun takabbur yang
sangat dibenci oleh Allah swt. seperti dalam firmanNya, “Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
(Luqman: 18)
Tahadduts bin ni’mah dalam
konteks yang lebih luas, tidak hanya atas kenikmatan materi yang
diterima seseorang. Atas kesungguhan beribadah dan taufiq untuk
menjalankan amal shalih juga layak dan tidak ada salahnya untuk
diceritakan dan diberitahukan kepada orang lain. Ini sebagai sebuah
ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru serta dijadikan contoh. Namun,
tentu kepada mereka yang diharapkan mengikuti kebaikan dan amal shalih
tersebut.
Al-Hasan bin Ali mengemukakan pernyataannya tentang hal itu, “Jika
engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan kebaikan, maka sebutlah dan
ceritakanlah di depan saudaramu yang kamu percayai bahwa ia akan
mengikuti jejak yang baik tersebut.” Kebiasaan seperti ini pernah
dilakukan oleh Abu Firas, Abdullah bin Ghalib, seperti yang dituturkan
oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Setiap kali aku bangun pagi, aku
biasa menyebut amal yang aku lakukan di malam hari; aku sholat sekian,
berdzikir sekian, membaca Al-Qur’an sekian dan sebagainya.” Ketika para
sahabatnya mempertanyakan yang dilakukan oleh Abu Firas termasuk dalam
kategori riya’, dengan tenang ia menjawab, “Allah memerintahkan dalam
ayat-Nya untuk menceritakan kenikmatan, sedangkan kalian melarang untuk
menyebut kenikmatan?”
Di sini sangat jelas bahwa tahadduts bin ni’mah merupakan
salah satu kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dikecam
oleh Allah karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya serta tidak
mengakui anugerah tersebut berasal dari Allah swt. Allah berfirman,
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An-Nahl: 83).
Tentang penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan enggan mensyukuri nikmat,
Allah menggambarkan akhir kehidupan mereka yang mendapat azab.
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.
Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang
besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi
(pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon
Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran
mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan
hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba’: 15-17)
Dalam beberapa hadits Rasulullah dinyatakan bahwa Tahadduts dengan
kenikmatan yang diraih merupakan salah satu dari impelemtasi syukur
seorang hamba kepada Sang Pemberi nikmat, yaitu Allah. Dalam hal ini,
At-Tirmidzi menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang diberi kebaikan
(kenikmatan), hendaklah ia membalasnya; Jika ia tidak punya sesuatu
untuk membalasnya, hendaklah ia memuji pemberinya. Karena sesungguhnya
apabila ia memuji berarti ia telah mensyukuri dan berterima kasih
kepadanya. Akantetapi, jika ia menyembunyikannya, berarti ia telah
mengingkari kebaikannya.” Dalam hadits lain dijelaskan masing-masing
bentuk implementasi syukur secara lebih terperinci:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ
يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ
التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ
رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Dari An-Nu’man bin Basyir berkata, “Rasulullah saw. berkhutbah di atas
mimbar menyampaikan sabdanya: ‘Barangsiapa tidak mensyukuri yang
sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang banyak. Barangsiapa tidak
berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah.
Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur dan
meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa rahmat dan
bercerai-berai akan mendatangkan adzab’.” (Musnad Imam Ahmad, no. 17721)
Adalah anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk
senantiasa mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah
berpesan, “Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena
sesungguhnya menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya.” Memang
memperlihatkan kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh
Allah karena Allah sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat
lantas ia menampakkan atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap
atau penampilan.
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan
bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan
oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui
Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan
yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian,
Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut
menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup
kepadaku.” Maka Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah
tersebut dalam penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Mudah-mudahan kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai kehidupan
kita, mampu kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan memperbaiki
semangat pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal sholeh yang
diridhoiNya. Tahadduts bin ni’mah yang
kita lakukan semata untuk mendapatkan perhatian Allah, bukan perhatian
dan pujian dari manusia. Namun begitu, harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut
semoga akan bisa membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama
menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini...
Wallahu A'lam...
0 komentar:
Posting Komentar